Normal is ASI

 
IMG02245-20130209-0933Tak terhingga :P RT@housniati: klo sdg tdk puasa,pernah ga kt hitung brp x dlm sehari kita mkn&mnm?Mulai dr mkn bsr smp nyemil? #NORMALisASI
 
Ada penelitian menunjukkan kebanyakan org dewasa selalu ingin makan sesuatu dlm rentang waktu 90mnt. Nah apa hubnya dgn #NORMALisASI ? :D
Tujuan kita makan&minum adl u/ bertahan hidup krn kita butuh energi. Nah pada bayi asupan ini dibutuhkan u/ tumbuh&berkembang #NORMALisASI
Jd bayi sama spt kita orang dewasa, butuh energi u/bertahan hidup plus energi utk tumbuh&berkembang. Dobel ya tujuannya :D #NORMALisASI
Bayangkan tantangan yg dihadapi bayi baru lahir u/penuhi hal2 tsb.Jd emang sgt alamiah kalo kerjaan mereka hanya menyusu allday #NORMALisASI
PLUS bayangkan jg lambung mereka yg masih sgt kecil.Jadi sangatlah alamiah jika bayi2 mungil ini dikit2 nenen, nenen & nenen lg #NORMALisASI
‘Tugas’ si bayi kecil jg mnantang loh!Berat badan mereka pun sebaiknya naik minimal 2x lipat dr berat lahirnya dlm 6bln pertama #NORMALisASI
empeng pd bayi itu kalo diibaratkan spt ‘permen karet tanpa rasa’ buat kita org dewasa. imitasi dr yg sesungguhnya mrk butuhkan #NORMALisASI
Kapanpun bayi merasa tdk/kurang nyaman, coba u/disusui (walaupun ia habis makan) kalo dia tdk mau pun dia bs menunjukkan reaksi #NORMALisASI
Coba pikir,pernah ga kt lg makan di resto,selesai makan kt mau pesen yg lain,lalu pelayannya bilang”kamu kan barusan makan?” :D #NORMALisASI
Itu tadi analogi u/ kita berpikir bayi2 ini sama spt ketika manusia dewasa yg punya kemauan, hanya mereka dlm format kecil :D #NORMALisASI
Biar bayi kita yg tentukan kapan mereka mau menyusu&selesainya.Coba bayangkan ada ga tempat makan yg pelayannya pasang timer :D #NORMALisASI
taken from http://kultwit.aimi-asi.org/page/8/
Posted in Motivation | 1 Comment

Aku Ingin Anak Lelakiku Menirumu

Istriku yang ingatannya lebih kuat daripadaku…, pada saat penerbangan dari Medan ke Bandung, mas membaca suatu kisah yang cukup menyentuh. Jikalau engkau mendapati diriku terlalu sibuk sehingga melupakan anak kita, ingatkanlah diriku mengenai kisah ini..
Aku Ingin Anak Lekakiku Menirumu
Ketika lahir, anak lelakiku gelap benar kulitnya, Lalu kubilang pada ayahnya:
“Subhanallah, dia benar-benar mirip denganmu ya!”
Suamiku menjawab:
“Bukankah sesuai keinginanmu? Kau yang bilang kalau anak lelaki ingin seperti aku.”
Aku mengangguk. Suamiku kembali bekerja seperti biasa. Ketika bayi kecilku berulang tahun pertama, aku mengusulkan perayaannya dengan mengkhatamkan Al Quran di rumah Lalu kubilang pada suamiku:
“Supaya ia menjadi penghafal Kitabullah ya,Yah.”
Suamiku menatap padaku seraya pelan berkata:
“Oh ya. Ide bagus itu.”
Bayi kami itu, kami beri nama Ahmad, mengikuti panggilan Rasulnya. Tidak berapa lama, ia sudah pandai memanggil-manggil kami berdua: Ammaa. Apppaa. Lalu ia menunjuk pada dirinya seraya berkata: Ammat! Maksudnya ia Ahmad. Kami berdua sangat bahagia dengan kehadirannya.
Ahmad tumbuh jadi anak cerdas, persis seperti papanya. Pelajaran matematika sederhana sangat mudah dikuasainya. Ah, papanya memang jago matematika. Ia kebanggaan keluarganya. Sekarang pun sedang S3 di bidang Matematika.
Ketika Ahmad ulang tahun kelima, kami mengundang keluarga. Berdandan rapi kami semua. Tibalah saat Ahmad menjadi bosan dan agak mengesalkan. Tiba-tiba ia minta naik ke punggung papanya. Entah apa yang menyebabkan papanya begitu berang, mungkin menganggap Ahmad sudah sekolah, sudah terlalu besar untuk main kuda-kudaan, atau lantaran banyak tamu dan ia kelelahan. Badan Ahmad terhempas ditolak papanya, wajahnya merah, tangisnya pecah, Muhammad terluka hatinya di hari ulang tahunnya kelima.
Sejak hari itu, Ahamad jadi pendiam. Murung ke sekolah, menyendiri di rumah. Ia tak lagi suka bertanya, dan ia menjadi amat mudah marah. Aku coba mendekati suamiku, dan menyampaikan alasanku. Ia sedang menyelesaikan papernya dan tak mau diganggu oleh urusan seremeh itu, katanya.
Tahun demi tahun berlalu. Tak terasa Ahmad telah selesai S1. Pemuda gagah, pandai dan pendiam telah membawakan aku seorang mantu dan seorang cucu. Ketika lahir, cucuku itu, istrinya berseru sambil tertawa-tawa lucu:
“Subhanallah! Kulitnya gelap, Mas, persis seperti kulitmu!”
Ahmad menoleh dengan kaku, tampak ia tersinggung dan merasa malu.
“Salahmu. Kamu yang ingin sendiri, kan. Kalau lelaki ingin seperti aku!”
Di tanganku, terajut ruang dan waktu. Terasa ada yang pedih di hatiku. Ada yang mencemaskan aku.
Cucuku pulang ke rumah, bulan berlalu. Kami, nenek dan kakeknya, datang bertamu. Ahmad kecil sedang digendong ayahnya. Menangis ia. Tiba-tiba Ahmad anakku menyergah sambil berteriak menghentak,
“Ah, gimana sih, kok nggak dikasih pampers anak ini!”
Dengan kasar disorongkannya bayi mungil itu.
Suamiku membaca korannya, tak tergerak oleh suasana. Ahmad, papa bayi ini, segera membersihkan dirinya di kamar mandi. Aku, wanita tua, ruang dan waktu kurajut dalam pedih duka seorang istri dan seorang ibu. Aku tak sanggup lagi menahan gelora di dada ini. Pecahlah tangisku serasa sudah berabad aku menyimpannya. Aku rebut koran di tangan suamiku dan kukatakan padanya:
“Dulu kau hempaskan Ahmad di lantai itu! Ulang tahun ke lima, kau ingat? Kau tolak ia merangkak di punggungmu! Dan ketika aku minta kau perbaiki, kau bilang kau sibuk sekali. Kau dengar? Kau dengar anakmu tadi? Dia tidak suka dipipisi. Dia asing dengan anaknya sendiri!”
Allahumma Shali ala Muhammad. Allahumma Shalli alaihi wassalaam. Aku ingin anakku menirumu, wahai Nabi.
Engkau membopong cucu-cucumu di punggungmu, engkau bermain berkejaran dengan mereka Engkau bahkan menengok seorang anak yang burung peliharaannya mati. Dan engkau pula yang berkata ketika seorang ibu merenggut bayinya dari gendonganmu,
“Bekas najis ini bisa kuseka, tetapi apakah kau bisa menggantikan saraf halus yang putus di kepalanya?”
Aku memandang suamiku yang terpaku.
Aku memandang anakku yang tegak diam bagai karang tajam. Kupandangi keduanya, berlinangan air mata.
Aku tak boleh berputus asa dari Rahmat-Mu, ya Allah, bukankah begitu?
Lalu kuambil tangan suamiku, meski kaku, kubimbing ia mendekat kepada Ahmad. Kubawa tangannya menyisir kepala anaknya, yang berpuluh tahun tak merasakan sentuhan tangan seorang ayah yang didamba.
Dada Ahmad berguncang menerima belaian. Kukatakan di hadapan mereka berdua,
“Lakukanlah ini, permintaan seorang yang akan dijemput ajal yang tak mampu mewariskan apa-apa: kecuali Cinta.
Lakukanlah, demi setiap anak lelaki yang akan lahir dan menurunkan keturunan demi keturunan. 
Lakukanlah, untuk sebuah perubahan besar di rumah tangga kita! Juga di permukaan dunia. Tak akan pernah ada perdamaian selama anak laki-laki tak diajarkan rasa kasih dan sayang, ucapan kemesraan, sentuhan dan belaian, bukan hanya pelajaran untuk menjadi jantan seperti yang kalian pahami. Kegagahan tanpa perasaan.
Dua laki-laki dewasa mengambang air di mata mereka.
Dua laki-laki dewasa dan seorang wanita tua terpaku di tempatnya.
Memang tak mudah untuk berubah. Tapi harus dimulai. Aku serahkan bayi Ahmad ke pelukan suamiku. Aku bilang:
“Tak ada kata terlambat untuk mulai, Sayang.”
Dua laki-laki dewasa itu kini belajar kembali. Menggendong bersama, bergantian menggantikan popoknya, pura-pura merancang hari depan si bayi sambil tertawa-tawa berdua, membuka kisah-kisah lama mereka yang penuh kabut rahasia, dan menemukan betapa sesungguhnya di antara keduanya Allah menitipkan perasaan saling membutuhkan yang tak pernah terungkapkan dengan kata, atau sentuhan. Kini tawa mereka memenuhi rongga dadaku yang sesak oleh bahagia, syukur pada-Mu
Ya Allah! Engkaulah penolong satu-satunya ketika semua jalan tampak buntu.
Engkaulah cahaya di ujung keputusasaanku.
Tiga laki-laki dalam hidupku aku titipkan mereka di tangan-Mu.
Kelak, jika aku boleh bertemu dengannya, Nabiku, aku ingin sekali berkata:
Ya, Nabi. aku telah mencoba sepenuh daya tenaga untuk mengajak mereka semua menirumu!
Amin, Alhamdulillah

Kiriman dari suamiku, Tresna Huzairy | 12.03.2013

Posted in My Mind | Leave a comment

Bidadari bidadari Surga (2)

“Wahai, wanita-wanita yang hingga usia tiga puluh, empat puluh, atau lebih dari itu, tapi belum juga menikah (mungkin kerana kekurangan fizikal, tidak ada kesempatan, atau tidak pernah ‘terpilih’ di dunia yang amat keterlaluan mencintai harta dan penampilan wajah.) Yakinlah, wanita-wanita solehah yang sendiri, namun tetap mengisi hidupnya dengan indah, bersedekah dan berkongsi, berbuat baik dan bersyukur. Kelak di hari akhir sungguh akan menjadi bidadari-bidadari syurga. Dan khabar baik itu pastilah benar, bidadari syurga parasnya cantik luar biasa.”

Taken from http://www.goodreads.com/book/show/3971237-bidadari-bidadari-surga
Posted in Book Lover | Leave a comment

Saga no Gabai Bachan

Buku ini direkomendasikan oleh suami yang katanya direkomendasikan dalam acara Kick Andy. Saya akui, sampai saat ini buku-buku rekomendasi acara Kick Andy tidak pernah mengecewakan. Selalu meninggalkan jejak istimewa setelah membacanya dan membuat saya merasa menyesal bila tak membuat resensinya sebagai kenang-kenangan.
Buku ini mengajarkan kita tentang arti bahagia yang tidak bisa dinilai hanya dengan uang. Dan makna bahagia, seiring dengan pergantian tahun dan (katanya) kemajuan zaman, mengalami pergeseran makna menjadi lebih bersifat materi.
Adalah Akihiro Tokunaga yang tak lain adalah sang penulis Yoshichi Shimada yang menceritakan kembali pengalaman hidup semasa kecilnya saat tinggal bersama Nenek Osano di Saga sebuah daerah kecil di Pulau Kyushu, Jepang. Nilai-nilai hidup yang diajarkan sang Nenek membuatnya berkesimpulan bahwa bahagia bukanlah sesuatu yang ditentukan oleh uang. Kebahagiaan itu adalah sesuatu yang ditentukan oleh diri kita sendiri, oleh hati kita.
Lihat saja bagaimana bahagianya Akihiro kecil saat memiliki krayon pertamanya, yang didapat dari hasil menjual kura-kura yang secara tak sengaja didapatnya saat bermain-main di sungai. Pada saat bukan pelajaran menggambar, krayon 24 warna -yang dianggap mewah oleh teman-teman di sekolahnya yang hanya bisa berpuas hati dengan krayon 12 warna -diletakkan di atas mejanya dengan bangga. Juga pada saat ibunya dari Hiroshima datang mengunjunginya, membayangkan sepulang sekolah ada ibu yang menungguinya di rumah. Buat anak-anak lain itu adalah hal yang lumrah dan biasa, namun bagi Akihiro itu adalah hal yang luar biasa membahagiakan.
Selain belajar tentang kebahagiaan, Akihiro juga diajarkan bahwa tidak selamanya hal yang kita inginkan membuat kita bahagia. Seperti saat Akihiro ingin mengikuti kegiatan Kendo dan Judo yang dianggap keren pada saat itu. Karena kedua kegiatan tersebut memerlukan biaya, maka sang Nenek dengan tegas melarang Akihiro mengikuti kegiatan tersebut. Untuk olahraga, Akihiro disuruh oleh neneknya untuk berlari, karena tidak membutuhkan peralatan dan tempat berlarinya juga gratis. Dan dengan latihan berlarinya ini, di masa SMP nya Akihiro terpilih menjadi pemain tetap tim Baseball pada tahun pertama dan menjadi kapten tim yang diidolakan banyak perempuan. Dari kemampuan berlari juga, di akhir cerita Akihiro berhasil memperoleh beasiswa di SMA Kouryou di Hiroshima.
Lihatlah, bahwa tak semua yang kita sukai membuat kita berhasil dan bahagia. Semua kembali bagaimana cara kita menyikapi apapun yang terjadi di kehidupan ini. Kita hanya perlu menikmatinya, menyantap dengan bersyukur makanan apa pun yang ada di depan mata, lalu hidup dengan tawa setiap harinya. (epilog)
Ada bagian yang membuat saya terharu dalam lembaran-lembaran buku kecil ini, dan juga sarat makna tentunya. Yaitu saat diadakan festival olahraga di sekolah, dimana pada hari itu setiap murid membawa sendiri bekal makanannya untuk kemudian makan bersama keluarga yang datang menyemangati anak-anaknya. Tidak demikian halnya dengan Akihiro. Karena kesibukan sang Ibu di Hiroshima, setiap festival olahraga ibunya tidak bisa datang. Demikian juga dengan Nenek Osano, yang di hari pertamanya sekolah di Saga, membuat Akihiro diejek karena Nenek Osano dianggap ibunya yang tua sekali. Mungkin untuk menjaga perasaan Akihiro, Nenek Osano sengaja tidak hadir.
Dan cerita tentang bekal makanan, tidak ada makanan istimewa yang bisa dibawakan nenek untuk Akihiro. Hanya dengan acar buah plum dan jahe. Setiap waktu makan tiba di hari Festival Olahraga, Akihiro masuk ke kelas dan makan sendirian di sana dengan air mata menggenang di pipinya. Dan setiap kali juga di hari yang sama, selalu saja ada guru yang sedang sakit perut dan menukarkan bekal makanannya dengan Akihiro. Baru setelah di tahun ke enam sekolah, Akihiro mengerti bahwa itulah yang namanya kebaikan sejati, kebaikan yang dilakukan tanpa diketahui orang yang menerima kebaikan. Guru-guru di sekolah tahu bagaimana kondisi Akihiro dan Nenek Osano, dan bekal apa yang dibawakan sang Nenek untuk Akihiro. Juga tentang ibu Akihiro yang selalu tak bisa datang melihat aksinya dalam festival olahraga, membuat hati para guru menjadi iba melihatnya.
Dan di Festival Olahraga terakhir yang diikuti Akihiro di Saga, ada sebuah kebahagiaan tersendiri baginya. Ibunya yang selama ini tidak dapat hadir, berjanji untuk datang memberinya semangat pada lomba lari sejauh kurang lebih 7 kilometer ke Saga. Dalam surat ibunya untuk Nenek Osano pun membuatnya yakin bahwa ibunya pasti datang dalam festival tersebut. Sehari sebelum acara festival, seperti yang dijanjikan, ibunya belum juga datang ke Saga. Sampai aba-aba mulai untuk berlari dibunyikan pun, ibunya belum juga tampak di antara penonton. Rasa berdebar-debar akan kepastian kedatangan ibunya semakin menjadi, manakala dia harus melewati depan rumahnya dalam rute lari tersebut. Semakin dekat, semakin dia berdebar-debar, apakah ibunya jadi datang ke Saga atau tidak. Akihiro tak mau kehilangan semangat meski ibunya tidak jadi datang, tapi dia juga tak bisa menampik harapan ibunya hadir dan memberikan teriakan semangat untuknya. Di bagian ini, saya pun ikut berdebar-debar, membayangkan betapa kecewanya Akihiro kalau saja ibunya ternyata tidak juga hadir dan akhirnya saya ikut berlega hati saat melihat deretan kata-kata teriakan sang ibu memberi semangat pada Akihiro dari depan rumahnya. Lengkaplah sudah hari Akihiro di Festival Olahraga terakhir itu. Selain mendapat juara, dia juga bisa membuat ibunya bangga. Ah, betapa keberadaan ibu bagi Akihiro adalah nilai kebahagiaan yang tak terkira harganya.
Buat saya, buku ini terlalu singkat untuk menggambarkan tentang kebahagiaan. Namun setelah saya berpikir kembali, memang tidak perlu penjelasan panjang lebar bagaimana menjadi bahagia. Karena bahagia itu sederhana. Dan untuk mereka yang mau berpikir sederhana, tidak perlu bersusah payah bekerja siang malam banting tulang untuk mendapatkan bahagia atau melakukan segala demi meraih segala sesuatu yang diinginkan, cukuplah dengan mensyukuri apa yang kita punya, dan menjalani hidup sewajarnya saja.
ps. Katanya, filmnya sudah ada.. Apakah sudah sampai di Indonesia?
-Ayu Shafiyah | 24.01.12-
Posted in Book Lover | 1 Comment

Pernikahan itu Sensitif

“Pernikahan itu sangat sensitif,” kata Ummul Mukminin Aisyah r.a., “dan tergantung kepada pribadi masing-masing untuk mendapatkan kemuliaannya.”
Pernikahan itu sangat sensitif. Seseorang menjadi peka, lebih peka dari sebelumnya. Boleh jadi ia menjadi lebih peka terhadap kebajikan-kebajikan dan akhlak mulia. Boleh jadi ia justru menjadi peka terhadap kekurangan-kekurangan orang lain sekalipun sedikit. Sementara kebaikannya yang banyak tidak nampak di mata.
Pernikahan itu sangat sensitif. Kalau sebuah pernikahan mengalami keretakan dan kegersangan, yang merasakan panas serta gerahnya tidak hanya suami dan istri. Sanak kerabat pun bisa ikut merasakan. Pernikahan itu sangat sensitif. Kalau masing-masing pribadi berusaha untuk saling menyelami dan menguatkan jalinan perasaan (al-‘athifah) untuk kebaikan bersama, guncangan-guncangan besar pun insya-Allah, tidak menggoyahkan. Apalagi guncangan kecil, baik dari tetangga maupun keluarga.
Pernikahan itu sangat sensitif. Kalau masing-masing berusaha untuk mendapatkan kemuliaan~bukan dimuliakan~ insyaAllah mereka akan meraih rumahtangga yang barakah, sakinah (menentramkan jiwa) mawaddah wa rahmah (diliputi oleh rasa cinta dan kasih sayang).
Pernikahan itu sangat sensitif. Segala jalan yang menyebabkan munculnya keraguan dan kebimbangan mengenai akhlak maupun fisiknya, perlu dijauhkan. Setiap pintu yang bisa membukakan penyesalan, perlu ditutup. Sedang pintu yang mendatangkan kemantapan dan terhapusnya jalan penyesalan, sebaiknya dibuka lebar. Sederhana dalam proses dan sederhana dalam pelaksanaan merupakan jalan besar menuju keluarga yang barakah, sakinah mawaddah wa rahmah.
Sedang mempersulit proses pernikahan dapat membuka pintu-pintu madharat. Mempersulit proses pernikahan melapangkan jalan fitnah dan mafsadah (kerusakan) masyarakat. Tetapi yang ingin saya bahas di sini adalah madharat bagi suami istri yang akan menikah.
Rasulullah bersabda, “Seorang wanita yang penuh barakah dan mendapat anugerah Allah adalah yang maharnya murah, mudah menikahinya, dan akhlaknya baik. Namun sebaliknya, wanita yang celaka adalah yang mahal maharnya, sulit menikahinya, dan buruk akhlaknya.”
~Mencapai Pernikahan Barakah – Muhammad Fauzil Adhim | 18.09.2011~

 

Posted in Spiritual | Leave a comment